Panggil aku Alin. Diriku baru saja lulus dari bangku SMA. Kini, aku
sedang berjuang mendapatkan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) impianku. Setelah
lulus, setiap hari aku habiskan masa liburanku dengan bimbingan belajar. Aku
berkutat dengan pelajaran hingga jenuh rasanya. Sesekali bahkan aku bolos
pelajaran.
“Alin… Kenalin Pak Genta. Genta kenalin ini Alin. Murid kelas
intensif SBM.” Ucap ka Hafiz ketika mengenalkan guru baru padaku.
Aku acuh saja dan sama sekali tak menengok. Hanya menganggukkan
kepala ku sambil melanjutkan mencatat pelajaran. Maklum, aku kan suka bolos.
Jadi harus rajin catat buku lah. biar engga bego banget.
“Lin… Nengok dulu kek. Kenalan. Sok sibuk banget…”
“Aku lagi sibuk,ka. Bentar ya. Lagian Pak Genta juga ga keberatan.
Iya kan pak?” Jawabku sambil tetap menulis tanpa menoleh sedikitpun
“Iya ga apa-apa lin. Saya maklum kok. Duluan ya? Mau masuk kelas
nih.”
“Oh yauda.”
Itulah perkenalan ku pertama kali dengannya. Memang sangat tidak mengesankan,
pasti menurutnya aku menjengkelkan. Ya penyesalan memang datang belakangan.
Coba saja aku menoleh. Kalau tau dia Genta mungkin aku dapat mengenalnya jauh
lebih dekat. Ternyata tidak. Nyesek banget rasanya.
Aku masuk kelas paling terakhir alias telat. Setelah 30 menit kelas
dimulai aku baru masuk. Tanpa memperhatikan siapa guru yang mengajar, aku
langsung masuk dan memilih duduk di pojok. Pikirku pelajarannya mudah dan
sepele. Apa pentingnya? Jadi. dikelas aku hanya menyenderkan badan ketembok sambil
mendengarkan musik dari earphone ku. Tanpa mendengarkan pelajaran dikelas.
Guru asik menjelaskan, tapi pikiranku malah melayang mengingat
pacarku, Riski. Dia pindah ke Sulawesi lusa lalu. Padahal aku dan dia lagi hangat-hangatnya.
Kami belum lama jadian. Pokoknya seperti mangga baru matang deh. Manis!
Tak berlangsung lama, waktu belajar pun usai. Dikelas, teman
perempuan ku masih saja ada yang mencatat sedangkan laki-laki lebih memilih
untuk keluar kelas. Aku pun simpel, hanya memotret papan tulis melalui
handphone ku. Kemudian meninggalkan kelas.
Beranjak dari kelas, aku memilih untuk pergi keluar mencari
minuman. Tak lama aku kembali dengan membawa sebotol minuman dingin. Sembari
minum, aku berjalan menuju tangga untuk sampai ke lantai 2. Tanpa memperhatikan
jalan, tak sengaja aku tersandung salah satu anak tangga disana.
“Aww…isshhh kenapa ga lihat-lihat jalan sih lin.” Aku marah-marah
pada diriku sendiri.
Akhirnya aku memutuskan duduk dahulu di atas anak tangga, berharap
rasa sakitnya segera hilang. Saat duduk, terlihat ada seekor anak kucing
berjalan menuju kearahku. Itu kucing ka Hafiz, staf yang bekerja di bimbel ini.
Senyumku mengembang melihat kucing berperawakan kecil mungil ini.
Bulunya berwarna pirang dan perutnya gendut. Aku harap dia tak cacingan, sebab
kucing ini sangat cungkring. Aku bahkan menamakannya “Cipring” sebab badannya
tidak bertambah besar semenjak aku disini.
Cipring menyambangiku sambil mendekatkan kepalanya ke kaki ku. Amat
lucu. Bagai tahu bila kaki ku sakit, Cipring mengelus-elus kakiku yang sakit
sambil berujar,
“Cepat sembuh kaki Alin.”
Aku cengir kuda membayangkan bila memang Cipring bisa berbicara.
Dari kejauhan seperti ada yang mendekat, aku tak tahu siapa. Tapi aku mencoba
meminggirkan badan ku ke sisi tembok agar tak menghalangi orang lain lewat.
Orang tersebut semakin mendekat. Tak kusangka seorang pria.
Wajahnya asing dan bahkan aku tak pernah berjumpa sekalipun. Siapa ya dia?
Kok kaya ga asing ya? Ucapku dalam batinku.
Tangannya membawa sepotong kepala ikan, sepertinya untuk Cipring.
Tanpa aba-aba Cipring langsung mendekatinya dan
menikmati santapannya.
Pria itu mendekatiku. Aku salah tingkah sendiri, bingung mau
melakukan apa. Bila aku senyum nanti dia bakal ke GR an, tapi bila aku diam
saja nanti dikira sombong. Aduh, gimana ya! Saking nervous nya, aku
sampai menghadapkan wajahku ke tembok. Takut ketauan kalau aku salah tingah
karena dia.
“Eh kamu, kenapa duduk disini? Bukannya masuk kelas.”
“Hmm, nanti aja pak.” Jawabku sambil
menengok tak tentu arah.
“Lhoo…Kenapa sih? Masuk ayo buruan!”
Aduh mengesalkan banget, kalau engga ganteng, engga bakalan aku diam kaya gini.
“Iya nanti. Duluan aja pak.” Tangan
ku mempersilahkan dia untuk lewat. Dia masih disitu, tepat dibawah dua anak
tangga dariku.
“Saya Genta. Tadi kita sudah
kenalan, tapi kamu nya sibuk sih. Hehe.”
“Eh, pak Genta ? Guru sejarah baru?”
Jawabku memastikan
“Iyalah, guru mana lagi. Alin kan?”
“Eh iya…Aku Alin. Maaf soal tadi Genta.
Eh maksudnya Pak Genta”
“Ahaha, panggil Genta aja ya. Saya masih
muda kok. Fresh Graduate.”
Aku senyum saja ketika dia tertawa.
Tak sengaja mataku melihat lesung di pipinya. Sungguh sangat imut. Bahkan tak
seperti seorang guru, bagiku dia bagai seumuran denganku. Sinar matanya juga
terlihat tulus dan cara tertawanya membuat aku ingin tertawa juga.
Dalam hatiku, sepintas ada pikiran
untuk bisa dibantu naikn keatas olehnya. Tetapi tak sesuai dengan ekspetasi ku.
Setelah berkenalan, dia lebih memilih pergi meninggalkanku. Aduh, lagipula
mengapa aku berharap seperti itu? Kan aku sudah punya pacar. Riski mau
dikemanakan.
Setelah merasa enakan, aku pergi keatas sendirian. Pelajaran dikelas
belum dimulai, mungkin sekitar 10 menit lagi. Aku pun memutuskan duduk
dibelakang dekat dengan jendela. Agar tak jenuh, aku play lagu Don’t Say Good
bye dari Davichi.
Waktu berselang, jam pelajaran pun
dimulai. Ku lihat teman perempuan dikelas bisik-bisik sendiri ketika guru
datang. Awalnya aku sama sekali tak perduli tapi penasaran. Aku pun mencoba
mempertegas wajah guruku itu. Ah, lesung itu! Genta.
Antara senang dan malu ketika tahu,
Genta mengajar dikelasku. Sungguh perasaan yang sangat aneh. Aku terakhir kali
merasakan perasaan ini ketika PDKT dengan Riski dulu. Akibat PDKT yang lama
waktu itu, maka aku baru sekarang-sekarang ini jadian dengan Riski. Belum lama,
kurang dari sebulan.
Bersambung...